#----#
Aku tersandung.
Sesuatu menyangkut pada ujung sepatuku. Sesuatu seperti sulur pohon raksasa
yang menjuntai hingga menutupi tanah di sekitarnya. Aku membaui sesuatu seperti
aroma kulit pohon berjamur yang basah, juga lumut-lumut lengket. Angin yang
berhembus membuat daun-daun pohon raksasa itu berderak. Cahaya matahari
menyusup dari celah-celah rerimbunan di atas sana, persis seperti puluhan
cahaya lampu senter yang yang menyala bersamaan. Ngengat-ngengat kecil
berterbangan, kemudian hinggap di permukaan batang pohon raksasa itu.
Pelan-pelan menelusup ke balik kulit pohon yang merekah.
Di
kejauhan terdengar suara gemericik air yang memercik, aku yakin itu semacam air
terjun kecil dengan kolam batu di bawahnya. Aku tak pernah ke sana sebelumnya.
Dan sejauh ini aku masih belum mau tahu aku berada di mana. Angin kecil bertiup
menggoyangkan anak rambutku yang jatuh di pelupuk mata. Kupalingkan pandangan
ke arah sebaliknya. Beberapa ekor burung dengan bulu warna-warni menari—
berlompatan pada salah satu dahan pohon jambu rendah yang dipenuhi buah ranum.
Dua ekor tupai berlarian memperebutkan sebuah biji besar kacang ketepeng tua.
Suara mereka mencicit lucu. Aku mencoba berdiri, menyingkirkan sulur pohon
besar yang menyandungku.
Seseorang
mengetuk pintu, citra hutan misterius itu seketika lenyap. Aku berada di
kamarku, terkejut oleh suara tok-tok. Pelan-pelan membuka mata dan menggaruknya
dengan ujung jari-jari tangan kanan. Aku kesal setengah mati, kenapa ada yang
mengetuk pintu di saat-saat seperti itu. Sebuah kepala menyembul dari balik
pintu. Memperlihatkan senyuman yang nampak dibuat-buat. Ibuku membawa mangkuk
besar— yang aku yakin berisi bubur padat dari beras merah— di tangan kanannya,
sedangkan tangan kirinya menggenggam gelas panjang berisi susu putih yang
kelihatan memuakkan. Meletakkannya di atas meja di samping ranjangku, kemudian
meraba keningku dengan punggung tangan kiri. Aku mencoba bersikap biasa.
Berusaha sebaik mungkin, menjauhkan diri dari perdebatan tak berguna dengannya.
***
Dua hari
sebelumnya, aku dilarikan ke rumah sakit karena panas tinggi, demam. Semalaman
menginap di sana, ditancapi jarum infus dengan cairan misterius yang diganti
empat jam sekali. Menggelikan. Mereka bilang aku terkena gejala tifus yang
lumayan sudah parah. Harus menjalani istirahat penuh selama seminggu dan tak
boleh melakukan aktifitas berlebihan minggu berikutnya. Ah… aku tidak pernah membayangkan
akan ada acara semacam ini.
Aku
tidak pernah suka berdiam diri, apa lagi hanya menghabiskan waktu dengan
tiduran. Beruntung sekali, saat kembali dari rumah sakit Zora datang dan
membawakanku beberapa komik yang ia beli bersamaku tempo hari. Itu sedikit
membantuku mengurangi rasa bosan, meski aku tetap merasa payah jika harus terus
mendiami ranjangku lebih lama lagi.
Zora
adalah sepupu sekaligus sahabatku. Satu-satunya yang kupunya hingga saat ini.
Aku tak pernah bisa berteman baik dengan siapa pun. Dan aku sendiri tak tahu
alasannya. Mungkin karena aku lebih senang menarik diri dan sibuk dengan dunia
yang kuciptakan sendiri. Menghabiskan waktu dengan gambar-gambar yang kubuat.
Semua orang di sekolah juga nampak tak suka padaku atau mereka tak penah
menyadari keberadaanku selama ini. Meskipun begitu, aku tak pernah peduli.
Aku merasakan
angin yang sama. Dengan aroma pohon dan lumut basah. Aku berjalan timpang,
menginjak rerumputan yang lembab oleh hujan. Bulir-bulir air pada ujung-ujung
rerumputan itu tersapu oleh sepatu dan celana panjang kebesaranku yang kulipat
hingga mata kaki. Aku terjerembab lagi, tersandung akar pohon saat berusaha
melompat menghindarinya, namun tubuhku masih belum seimbang. Membuat kedua
lututku basah dan kotor.
Kepalaku
pening sekali. Berdenyut-denyut hingga membuatku limbung. Mencoba bijaksana,
aku berjalan perlahan dengan berpegangan pada pohon-pohon yang bisa kuraih.
Tempat itu terlihat sama dengan yang kudatangi sebelumnya, tapi aku tak
menemukan pohon besar yang kulihat waktu itu. Aku terus berjalan. Kulihat dua
ekor tupai yang pernah kulihat sebelumnya tengah mengawasiku. Berlarian dan
berlompatan dari dahan satu pohon ke pohon yang lain. Aku yakin tempat yang
kudatangai kali ini adalah bagian lain dari hutan. Dan kedua tupai itu berusaha
membawaku menuju pohon besar.
***
Aku sudah lupa
kapan terakhir kali ayah mengajakku memancing. Saat masih di sekolah dasar
dulu, dia sering membawaku ke sungai besar desa sebelah untuk memancing.
Menghabiskan hari Minggu bersama. Aku, ayah dan Zain abangku, kadang-kadang
Zora pun turut serta. Sementara ayah sibuk mengamati kail yang dilemparkannya
ke tengah sungai, aku dan Zora menyelinap ke rerimbunan ilalang tinggi. Menuju
bukit rendah di sisi lain sungai. Menangkap kumbang tanduk atau
serangga-serangga aneh lainnya dan menyimpan mereka di dalam kaleng bekas
biskuit. Setelah lewat tengah hari, Zain akan meneriaki kami untuk makan siang.
Aku selalu tidak suka bagian itu.
Zain
selalu berusaha menjadi abang yang baik. Tapi bagiku, dia abang paling tidak
pengertian di seluruh dunia. Dia selalu memaksaku melakukan hal-hal yang tak
kusuka. Yah… sebenarnya dia tak pernah melakukannya, hanya saja Ibu selalu
menyuruhku meniru hal-hal menakjubkan yang dilakukan Zain. Seperti ikut
organisasi pelajar, les bahasa Inggris dan sekumpulan les lain yang menurutku
tak menarik.
Itu
yang membuat hubunganku dengannya tak terlalu baik. Ia terus berperan sebagai
kakak yang baik, sedangkan aku selalu jadi adik yang suka membangkang. Bagi Ibu,
itu semua masalah. Dia tidak bisa menerima itu semua, dan melimpahkan
kekecewaannya padaku. Oleh karena itu, aku lebih senang bersama dengan Zora.
Selain seumuran denganku, hanya dia yang bisa menerima segala hal mengenaiku.
Dia juga menyukai hal-hal yang berbeda. Suka menjelajah hal-hal baru dan
menemukan hal-hal yang menyenangkan.
Padang ilalang
yang kulihat di sepanjang lembah dan bukit itu mengingatkannku dengan yang
sering kujelajahi bersama Zora dulu. Hanya saja yang kulihat saat ini jauh
lebih luas. Membentang melebihi yang bisa tertangkap oleh mataku, menyebar
menutupi bukit. Aku tak tahu pasti dimana ujungnya. Aku berhenti sejenak,
membiarkan angin padang rumput yang dipenuhi serbuk bunga ilalang menerpaiku.
Aku terbatuk. Alergi serbuk bunga. Rambutku yang terurai sebagian pun penuh
oleh sebuk bunga yang lengket.
Dua ekor tupai kecil yang sedari
tadi menuntunku, bercicit gelisah. Seperti memberi tahuku agar kembali
meneruskan perjalanan. Sekali lagi aku merasakan kepalaku berdenyut. Dan
lagi-lagi itu membuat tubuhku limbung.
Aku tak tahu sudah berjalan berapa jauh. Mungkin belum jauh karena aku
berjalan terlalu lamban, tapi aku sudah kecapaian setengah mati. Aku berusaha
sekuat tenaga terus mengikuti kedua tupai itu.
Aku
terus berjalan, hingga aku tak sanggup lagi. Saat itu, aku telah sampai pada
sebuah dataran landai yang dilingkupi pohon-pohon pinus tinggi dengan tanah
yang tertutup lumut tebal, menghijau serupa karpet yang sengaja ditebar di
sana. Ada semacam tanah lapang tepat berada di tengah-tengahnya dan sungai
kecil mengalir di sebelah kiri. Meluncur tenang dari sela-sela bukit kecil yang
mampak seperti gundukan tinggi bebatuan yang dipenuh tumbuhan berbunga kuning.
Airnya jernih. Jauh lebih jernih dari pada sungai besar di mana ayahku sering
memancing dulu.
Aku
jatuh, terduduk di sisi sungai yang menjorok membentuk kolam kecil, di bawah
naungan sebuah pohon pinus besar. Kedua kakiku pegal, saking pegalnya sampai
terasa kebas. Kedua tupai itu bercicit lagi, kemudian melompat melintasi tanah
lapang yang ditumbuhi rumput berbunga warna-warni. Berhenti di ujung sisi lain
tanah lapang itu. Aku melihat dua batang pohon pinus yang melengkung unik,
membentuk sebuah ambang. Jauh di sana, di bagian yang tak tertutup kanopi hutan
pinus.
******************* the story is still going on*****************
[pic. private property of the author]
0 comments:
Post a Comment