Thursday, April 10, 2014

**** (Bagian Satu) ****

#----#

Aku tersandung. Sesuatu menyangkut pada ujung sepatuku. Sesuatu seperti sulur pohon raksasa yang menjuntai hingga menutupi tanah di sekitarnya. Aku membaui sesuatu seperti aroma kulit pohon berjamur yang basah, juga lumut-lumut lengket. Angin yang berhembus membuat daun-daun pohon raksasa itu berderak. Cahaya matahari menyusup dari celah-celah rerimbunan di atas sana, persis seperti puluhan cahaya lampu senter yang yang menyala bersamaan. Ngengat-ngengat kecil berterbangan, kemudian hinggap di permukaan batang pohon raksasa itu. Pelan-pelan menelusup ke balik kulit pohon yang merekah.


Di kejauhan terdengar suara gemericik air yang memercik, aku yakin itu semacam air terjun kecil dengan kolam batu di bawahnya. Aku tak pernah ke sana sebelumnya. Dan sejauh ini aku masih belum mau tahu aku berada di mana. Angin kecil bertiup menggoyangkan anak rambutku yang jatuh di pelupuk mata. Kupalingkan pandangan ke arah sebaliknya. Beberapa ekor burung dengan bulu warna-warni menari— berlompatan pada salah satu dahan pohon jambu rendah yang dipenuhi buah ranum. Dua ekor tupai berlarian memperebutkan sebuah biji besar kacang ketepeng tua. Suara mereka mencicit lucu. Aku mencoba berdiri, menyingkirkan sulur pohon besar yang menyandungku.

Seseorang mengetuk pintu, citra hutan misterius itu seketika lenyap. Aku berada di kamarku, terkejut oleh suara tok-tok. Pelan-pelan membuka mata dan menggaruknya dengan ujung jari-jari tangan kanan. Aku kesal setengah mati, kenapa ada yang mengetuk pintu di saat-saat seperti itu. Sebuah kepala menyembul dari balik pintu. Memperlihatkan senyuman yang nampak dibuat-buat. Ibuku membawa mangkuk besar— yang aku yakin berisi bubur padat dari beras merah— di tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya menggenggam gelas panjang berisi susu putih yang kelihatan memuakkan. Meletakkannya di atas meja di samping ranjangku, kemudian meraba keningku dengan punggung tangan kiri. Aku mencoba bersikap biasa. Berusaha sebaik mungkin, menjauhkan diri dari perdebatan tak berguna dengannya.
***

Dua hari sebelumnya, aku dilarikan ke rumah sakit karena panas tinggi, demam. Semalaman menginap di sana, ditancapi jarum infus dengan cairan misterius yang diganti empat jam sekali. Menggelikan. Mereka bilang aku terkena gejala tifus yang lumayan sudah parah. Harus menjalani istirahat penuh selama seminggu dan tak boleh melakukan aktifitas berlebihan minggu berikutnya. Ah… aku tidak pernah membayangkan akan ada acara semacam ini.
Aku tidak pernah suka berdiam diri, apa lagi hanya menghabiskan waktu dengan tiduran. Beruntung sekali, saat kembali dari rumah sakit Zora datang dan membawakanku beberapa komik yang ia beli bersamaku tempo hari. Itu sedikit membantuku mengurangi rasa bosan, meski aku tetap merasa payah jika harus terus mendiami ranjangku lebih lama lagi.
Zora adalah sepupu sekaligus sahabatku. Satu-satunya yang kupunya hingga saat ini. Aku tak pernah bisa berteman baik dengan siapa pun. Dan aku sendiri tak tahu alasannya. Mungkin karena aku lebih senang menarik diri dan sibuk dengan dunia yang kuciptakan sendiri. Menghabiskan waktu dengan gambar-gambar yang kubuat. Semua orang di sekolah juga nampak tak suka padaku atau mereka tak penah menyadari keberadaanku selama ini. Meskipun begitu, aku tak pernah peduli.

Aku merasakan angin yang sama. Dengan aroma pohon dan lumut basah. Aku berjalan timpang, menginjak rerumputan yang lembab oleh hujan. Bulir-bulir air pada ujung-ujung rerumputan itu tersapu oleh sepatu dan celana panjang kebesaranku yang kulipat hingga mata kaki. Aku terjerembab lagi, tersandung akar pohon saat berusaha melompat menghindarinya, namun tubuhku masih belum seimbang. Membuat kedua lututku basah dan kotor.
Kepalaku pening sekali. Berdenyut-denyut hingga membuatku limbung. Mencoba bijaksana, aku berjalan perlahan dengan berpegangan pada pohon-pohon yang bisa kuraih. Tempat itu terlihat sama dengan yang kudatangi sebelumnya, tapi aku tak menemukan pohon besar yang kulihat waktu itu. Aku terus berjalan. Kulihat dua ekor tupai yang pernah kulihat sebelumnya tengah mengawasiku. Berlarian dan berlompatan dari dahan satu pohon ke pohon yang lain. Aku yakin tempat yang kudatangai kali ini adalah bagian lain dari hutan. Dan kedua tupai itu berusaha membawaku menuju pohon besar.
***

Aku sudah lupa kapan terakhir kali ayah mengajakku memancing. Saat masih di sekolah dasar dulu, dia sering membawaku ke sungai besar desa sebelah untuk memancing. Menghabiskan hari Minggu bersama. Aku, ayah dan Zain abangku, kadang-kadang Zora pun turut serta. Sementara ayah sibuk mengamati kail yang dilemparkannya ke tengah sungai, aku dan Zora menyelinap ke rerimbunan ilalang tinggi. Menuju bukit rendah di sisi lain sungai. Menangkap kumbang tanduk atau serangga-serangga aneh lainnya dan menyimpan mereka di dalam kaleng bekas biskuit. Setelah lewat tengah hari, Zain akan meneriaki kami untuk makan siang. Aku selalu tidak suka bagian itu.
Zain selalu berusaha menjadi abang yang baik. Tapi bagiku, dia abang paling tidak pengertian di seluruh dunia. Dia selalu memaksaku melakukan hal-hal yang tak kusuka. Yah… sebenarnya dia tak pernah melakukannya, hanya saja Ibu selalu menyuruhku meniru hal-hal menakjubkan yang dilakukan Zain. Seperti ikut organisasi pelajar, les bahasa Inggris dan sekumpulan les lain yang menurutku tak menarik.
Itu yang membuat hubunganku dengannya tak terlalu baik. Ia terus berperan sebagai kakak yang baik, sedangkan aku selalu jadi adik yang suka membangkang. Bagi Ibu, itu semua masalah. Dia tidak bisa menerima itu semua, dan melimpahkan kekecewaannya padaku. Oleh karena itu, aku lebih senang bersama dengan Zora. Selain seumuran denganku, hanya dia yang bisa menerima segala hal mengenaiku. Dia juga menyukai hal-hal yang berbeda. Suka menjelajah hal-hal baru dan menemukan hal-hal yang menyenangkan.

Padang ilalang yang kulihat di sepanjang lembah dan bukit itu mengingatkannku dengan yang sering kujelajahi bersama Zora dulu. Hanya saja yang kulihat saat ini jauh lebih luas. Membentang melebihi yang bisa tertangkap oleh mataku, menyebar menutupi bukit. Aku tak tahu pasti dimana ujungnya. Aku berhenti sejenak, membiarkan angin padang rumput yang dipenuhi serbuk bunga ilalang menerpaiku. Aku terbatuk. Alergi serbuk bunga. Rambutku yang terurai sebagian pun penuh oleh sebuk bunga yang lengket.
            Dua ekor tupai kecil yang sedari tadi menuntunku, bercicit gelisah. Seperti memberi tahuku agar kembali meneruskan perjalanan. Sekali lagi aku merasakan kepalaku berdenyut. Dan lagi-lagi itu membuat tubuhku limbung.  Aku tak tahu sudah berjalan berapa jauh. Mungkin belum jauh karena aku berjalan terlalu lamban, tapi aku sudah kecapaian setengah mati. Aku berusaha sekuat tenaga terus mengikuti kedua tupai itu.
Aku terus berjalan, hingga aku tak sanggup lagi. Saat itu, aku telah sampai pada sebuah dataran landai yang dilingkupi pohon-pohon pinus tinggi dengan tanah yang tertutup lumut tebal, menghijau serupa karpet yang sengaja ditebar di sana. Ada semacam tanah lapang tepat berada di tengah-tengahnya dan sungai kecil mengalir di sebelah kiri. Meluncur tenang dari sela-sela bukit kecil yang mampak seperti gundukan tinggi bebatuan yang dipenuh tumbuhan berbunga kuning. Airnya jernih. Jauh lebih jernih dari pada sungai besar di mana ayahku sering memancing dulu.

Aku jatuh, terduduk di sisi sungai yang menjorok membentuk kolam kecil, di bawah naungan sebuah pohon pinus besar. Kedua kakiku pegal, saking pegalnya sampai terasa kebas. Kedua tupai itu bercicit lagi, kemudian melompat melintasi tanah lapang yang ditumbuhi rumput berbunga warna-warni. Berhenti di ujung sisi lain tanah lapang itu. Aku melihat dua batang pohon pinus yang melengkung unik, membentuk sebuah ambang. Jauh di sana, di bagian yang tak tertutup kanopi hutan pinus. 

******************* the story is still going on*****************

[pic. private property of the author]

0 comments:

Post a Comment